Pengelolaan keuangan rumah tangga Nabi Muhammad ﷺ merupakan teladan agung yang tidak hanya mengajarkan kesederhanaan, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan dan keseimbangan dalam kehidupan. Dalam kondisi ekonomi yang tidak selalu stabil, Rasulullah ﷺ mampu menunjukkan bagaimana seharusnya seorang kepala keluarga bersikap terhadap harta, tanpa tenggelam dalam kemewahan dan tetap menjunjung tinggi nilai spiritual. Pengelolaan keuangan oleh Rasulullah ﷺ menjadi pelajaran penting bagi umat Islam sepanjang zaman, bahwa keberkahan jauh lebih utama dibandingkan kelimpahan materi semata. Dengan landasan iman dan tawakal, beliau menanamkan nilai-nilai pengelolaan yang adil, hemat, dan penuh tanggung jawab.

Rumah tangga Rasulullah ﷺ sering kali berada dalam keadaan yang sangat sederhana. Bahkan Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata bahwa dapur rumah Rasulullah ﷺ tidak selalu mengepul selama berhari-hari. Namun dalam kesederhanaan itu, tetap hadir ketenangan dan keridhaan, karena keuangan rumah tangga dijalankan berdasarkan nilai qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Qana’ah menjadi dasar utama dalam pengaturan keuangan, bukan hanya soal jumlah harta yang dimiliki, tetapi bagaimana menyikapinya dengan bijaksana dan bersyukur.

Dalam riwayat Imam Muslim, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang makan roti gandum dua hari berturut-turut sampai beliau wafat.” Hadist ini menggambarkan bahwa Rasulullah ﷺ dan keluarganya hidup dalam keterbatasan, namun tidak pernah mengeluh atau meminta secara berlebihan. Rasulullah ﷺ memilih hidup sederhana, bahkan ketika beliau mampu untuk hidup lebih dari cukup. Beliau tidak pernah menyimpan harta lebih dari yang diperlukan, dan lebih memilih untuk menyedekahkan kelebihan itu kepada yang membutuhkan.

Selain itu, Rasulullah ﷺ memiliki prinsip kuat dalam menghindari utang. Dalam banyak sabda beliau, utang dipandang sebagai sesuatu yang berat, bahkan bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk meraih kebahagiaan akhirat jika tidak ditunaikan. Dalam Shahih Bukhari, diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ enggan menshalatkan jenazah orang yang memiliki utang, kecuali telah ada yang menjaminnya untuk dilunasi. Hal ini menunjukkan pentingnya mengatur keuangan agar tidak terjerumus dalam lilitan utang, karena utang yang tidak terbayar bisa menjadi beban berat di akhirat.

Pengelolaan keuangan rumah tangga Nabi ﷺ juga sangat erat kaitannya dengan prinsip sedekah. Setiap kali beliau mendapatkan harta, baik dari ghanimah maupun hadiah, beliau akan segera membaginya kepada yang membutuhkan. Tidak sedikit dari harta itu yang dibagikan kepada fakir miskin, para janda, anak yatim, dan orang-orang yang kesusahan. Dalam rumah Nabi, tidak ada budaya menimbun kekayaan atau hidup bermewah-mewah. Bahkan, beliau pernah bersabda dalam hadist riwayat Tirmidzi, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” Inilah kunci utama keuangan Rasulullah ﷺ: kekayaan yang sesungguhnya bukanlah jumlah yang ada di tangan, melainkan ketenangan dan kebersihan hati dalam menyikapinya.

Rasulullah ﷺ juga senantiasa melibatkan keluarganya dalam urusan keuangan, termasuk dalam pengaturan nafkah dan pengeluaran. Istri-istri beliau memahami kondisi rumah tangga dan tidak menuntut hal-hal yang melampaui kemampuan. Ketika para istri meminta peningkatan nafkah, Allah menurunkan ayat pilihan dalam Surah Al-Ahzab ayat 28-29, yang berisi tawaran apakah mereka ingin memilih dunia dan perhiasannya ataukah Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan akhirat. Para istri Nabi memilih Allah dan Rasul-Nya, menunjukkan bahwa kesadaran spiritual lebih diutamakan daripada kelimpahan dunia. Hal ini juga menjadi pelajaran berharga dalam membangun rumah tangga yang harmonis secara keuangan: saling memahami, tidak menuntut berlebihan, dan menjadikan keridhaan Allah sebagai landasan utama.

Dalam banyak kesempatan, Rasulullah ﷺ mengajarkan pentingnya bekerja dan berusaha, bahkan meskipun beliau adalah seorang Nabi. Beliau berdagang sebelum masa kenabiannya, dan bahkan setelahnya pun beliau tetap mendorong para sahabat untuk bekerja keras dan tidak menggantungkan hidup kepada orang lain. Dalam hadist riwayat Bukhari, beliau bersabda, “Sungguh, salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi mencari kayu bakar dan memikulnya di punggungnya, itu lebih baik baginya daripada ia meminta kepada orang lain.” Prinsip ini juga menjadi dasar dalam pengelolaan keuangan rumah tangga: pentingnya mencari nafkah halal dengan cara yang terhormat dan tidak merendahkan martabat.

Pengelolaan keuangan rumah tangga Nabi ﷺ bukan sekadar tentang pengeluaran dan pemasukan, tetapi mencakup aspek spiritual yang mendalam. Setiap keputusan yang diambil selalu berdasarkan keimanan dan harapan akan ridha Allah. Ketika seorang Muslim mengikuti jejak ini, maka keuangan rumah tangganya akan penuh keberkahan. Walau mungkin penghasilannya tidak besar, namun keberkahan itu akan terasa dalam bentuk ketenangan, kecukupan, dan keharmonisan keluarga. Bahkan, Allah telah berjanji dalam Surah At-Talaq ayat 2-3, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”

Apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ adalah keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal, antara usaha dan pengendalian diri. Dalam menghadapi kesulitan ekonomi, beliau tetap bersabar, namun tidak berdiam diri. Dalam menghadapi kelapangan, beliau tidak berbangga diri, melainkan tetap bersedekah dan mengutamakan orang lain. Model keuangan seperti inilah yang seharusnya diterapkan dalam rumah tangga Muslim, agar mampu menghadirkan ketenangan batin sekaligus memenuhi kebutuhan duniawi dengan penuh tanggung jawab.

Penting untuk dipahami bahwa Rasulullah ﷺ tidak menjadikan uang sebagai pusat kebahagiaan keluarga. Kebahagiaan dalam rumah tangga beliau tumbuh dari ketakwaan, cinta yang tulus, dan saling mendukung dalam kebaikan. Keuangan hanyalah sarana, bukan tujuan utama. Maka sangat wajar jika rumah tangga beliau menjadi suri teladan, bukan hanya karena keberhasilan spiritual, tetapi juga karena ketangguhan dalam mengelola kehidupan yang penuh dengan keterbatasan.

Kesederhanaan beliau tidak hanya terlihat dalam kondisi kekurangan, tetapi juga dalam kondisi kelapangan. Bahkan ketika diberikan kekayaan oleh Allah, Rasulullah ﷺ tetap memilih hidup apa adanya. Dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan bangkitkanlah aku bersama orang-orang miskin.” Doa ini menunjukkan kerendahan hati dan ketulusan beliau dalam menjalani kehidupan yang tidak bergantung pada harta.

Dari seluruh kisah dan teladan tersebut, kita belajar bahwa pengelolaan keuangan rumah tangga yang sejati adalah yang dilandasi oleh nilai-nilai iman, kesederhanaan, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama. Rumah tangga yang seperti ini tidak akan goyah meskipun diuji oleh keterbatasan, karena fondasinya kuat dan tujuannya jelas: meraih ridha Allah dan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Dengan menjadikan rumah tangga Rasulullah ﷺ sebagai acuan, setiap keluarga Muslim bisa menata keuangannya dengan lebih baik, lebih bijaksana, dan penuh keberkahan.